[Cerpen] Kujemput Hidayahku
“Sebaik-baiknya orang
ketika ia membenci masa lalunya yang penuh dengan kemaksiatan dan segera
berhijrah dari keburukan itu. Ia tak suka dengan kemaksiatan yang pernah ia
lalui, dan tak pernah membayangkan untuk kembali kemasa buruknya lagi” ucap
sang Murrabiyahku siang itu, ketika sedang menyampaikan materi. Murrabi kedua
semenjak aku ikut mengaji.
“Pacaran itu aib, tak usah lagi mengungkit masa lalu”
tukasku ketika ada seorang teman lama menanyakan perihal hubunganku dengan
mantan pacarku.
Terkadang aku menyadari, begitu beruntungnya mereka yang
semasa remajanya tak pernah tersentuh dengan kata ‘pacaran’ , mereka masih suci
dan layak mendapatkan pasangan yang sama sekali juga belum pernah pacaran.
Terkadang aku merasa iri kepada mereka yang sampai dewasa ini tetap di jaga
oleh Allah dari kemaksiatan-kemaksiatan pacaran. Sejujurnya akupun malu
mengakui diri pernah pacaran jika berkumpul bersama mereka, seolah diri inilah
yang paling buruk imannya.
Namun, tetap saja aku bersyukur, Allah ternyata masih
mencintaiku. Allah mengarahkanku kejalan yang lurus setah aku berjalan dalam
jalan kemksiatan. Allah mengulurkan tangannya untukku, Allah begitu
mencintaiku. Di saat aku tersesat Allah masih menyadarkanku akan jalan menuju
kebenaran.
Dulu,,, siapa aku? Jauh dari kata penghuni syurga.
Menjalankan perintah Allah pun seenaknya saja, bahkan sangat jarang. Tilawah?
Aku baru mengenal nama itu setelah bergabung dengan mereka yang menyesatkanku
kedalam jalan-Nya.
Aku dibesarkan di keluarga yang mungkin masih bisa
dikatakan awam dalam keislamannya. Asal aku bisa baca al-qur’an, hafalan sholat
itupun sudah cukup. Bahkan akupun tak pernah diajarkan untuk menutup aurat.
Pacaran? boleh saja dalam keluargaku, ‘asal jangan
macam-macam’ tukas ibuku.
Sejak memasuki kelas 2 SMA aku baru kenal yang namanya
pacaran, yah.. baru kenal ketimbang para teman-temanku. Aku di sekolahkan di
SMA yang mayoritasnya non muslim, di antara 50 siswa
yang muslim hanya 5 orang. Aku belajar agama hanya di sekolah. Itu pun hanya
satu jam pelajaran (1x45 menit) dan dalam 1 bulan mungkin hanya masuk 2 kali . Guru agama Islam kami sering
ganti-ganti, entah aku tak paham maksud mereka. Ada seorang guru agama yang
hanya mengajar kami selama 1 semester.
Ia seorang perempuan berkerudung lebar, berbaju longgar, berkaus kaki, dan tak
mau bersalaman dengan murid laki-laki. Aku baru pertama kali menemui wanita
seperti itu. Ia pernah menangis di kelas kami, karena mengetahui bahwa 2 orang diantara kami tak bisa sholat
dan mengaji.
Pacaran? awalnya malu-malu.. jalan barengan, semotor
berdua, jalan-jalan mengitari kota, nongkrong di taman, pegangan tangan, dan
putus. Kejadian itu berulang-ulang terus terjadi. Ada kalanya juga pacaran
jarak jauh katanya, yang cuman telp-telp an, smsan saling kirim foto, bosen!
Putus!.
Lulus SMA, dan saatnya memasuki dunia baru, tempat
belajar baru, teman baru dan kostum yang baru. Tak luput dari ospek jika masuk
diperguruan tinggi. Karena yang perempuan dituntut untuk mengepang seribu
rambut yang panjang aku memutuskan untuk mengenakan kerudung karena tak ingin
ribet.
Aku mengenal seorang mahasiswa satu angkatan namun beda
fakultas, awalnya cuman sering tukar informasi mengenai dunia kampus, minta
nomer hape, smsan dan berniat untuk kekampus bareng. Di kampusku waktu itu ada
mentoring yang dilaksanakan di masjid kampus, setiap sabtu siang aku dengannya
berangkat bareng, dan akhirnya kami pacaran. Ada rasa yang berbeda ketika aku
berpacaran dengannya. Bukan sebagai kekasih yang merasakan cinta, namun
selayaknya teman akrab yang sering bercandaan, bergurau dan hal-hal yang
dilakukan seorag sahabat. Meskipun kami beda fakultas, namun jika ada tugas
kami sering belajar bareng.
Dia juga akrab dengan ayah dan ibuku, bahkan ketika ada
konser waktu itu, ia berani untuk
meminta ijin membawaku nonton konser, sampai larut malam. Lebaran, aku entah
dia sama-sama bersilaturahim kekeluarga.
Aku sering melakukan kesalahan, namun ia dengan sabarnya
dan tak pernah memarahiku dan selalu membantuku jika aku mengalami kesulitan.
Hingga ada dimana situasinya tak lagi semanis kemarin-kemarin.
“Kamu bilang aku temanmu?” aku marah padanya ketika ia
mengatakan sedang bersama temannya, jelas-jelas ia bersamaku waktu itu. Aku
marah padanya karena ia mengakuiku sebagai temannya dihadapan teman kampusnya.
“Aku sedang ada tugas kelompok, dan lebih memilih jalan
ma kamu. Kalau aku bilang bersama pacarku, apa kata mereka ntar?” baru kali ini
aku melihat ada rasa kecewa di wajahnya.
“Kita putus!” tukasku dan pergi meninggalkannya.
Satu hari, dua hari. Tak ada kabar tentangnya. Waktu itu
aku masih mencintainya. Bahkan pernah ada niatan untuk bunuh diri ketika aku
mengajak balikan namun ia menolaknya. Mengurung diri di kamar bahkan pernah
tiga hari tak keluar rumah dan tak berangkat kuliah. Entahlah aneh jika
dideskripsikan masa lalu yang sia-sia itu.
“Kelak kamu akan mendapatkan yang lebih baik dari pada
aku!” tukasnya terakhir kalinya...
Sungguh, aku begitu frustasinya.
Di saat aku merasakan kekacauan dalam hatiku, ada seorang
kakak yang selalu menanyai kabarku, meskipun aku jarang membalas sms nya. Ia
mengajakku bertemu. Aku iyakan. Entah mengapa aku menumpahkan segala rasa
kesalku kepadanya, namun yang sangat disayangkan, seolah-olah ia menyalahkanku
karena kau pacaran tukasnya.
Aku mencoba belajar untuk melupakannya namun terkadang
aku melihatnya di jalan. Kadang juga aku bertemu dengannya dirumah makan, ia
masih bisa tertawa dengan gembiranya bersama teman-temannya, namun aku
begitunya merasakan sakit hingga lebih dari satu bulan.
“Za,
ikutan Liqo yuk, asyik lho.. kaya mentoring gitu!” ajak teman sekelasku. Karena
tidak ada kerjaan aku mengiyakan saja. Waktu itu aku masih seenaknya saja lepas
dan buka kerudung, bahkan ketika di ajak awal kali liqo aku baru pertamanya
mengenakan kerudung lagi semenjak putus dengannya.
“Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya.....”
Aku baru pertama kali mendengar ayat ini. Usai liqo, aku
segera pulang kerumah mengabil beberapa uang tabunganku, dan mengajak teman
untuk membeli kerudung yang sekiranya tak tembus pandang dan lebar.
Hari-hari berikutnya aku rutin untuk datang liqo dan
menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan dikampus. Bagai ceret kosong yang
belum terisikan air, dan selalu ingin dipenuhi air, aku begitu semangatnya
menuntut ilmu agama.
Entah mengapa di medsos Line, aku dengannya saling
menanyakan kabar lagi, dan ada rasa ingin berjumpa dengannya lagi. Dan benar
saja dia mengajakku bertemu dan mau mengajakku mengitari kota lagi. Aku
bingung, aku sangat menginginkan masa-masa itu lagi. Namun, teringat kembali
materi-materi yang pernah kudapat mengenai ikhtilat dan menjauhi zina. Aku
memohon kepada Allah untuk terlindung dari keburukan masa lalu yang mungkin
bisa saja aku ulangi lagi.
Berat rasanya menolak ajakkannya, namun aku tetap yakin
dengan janji-janji Allah. Aku belajar melupakkannya...
Satu tahun , dua tahun dan sampai empat tahun ini telah
terlewati, bahkan aku tak lagi berharap untuk bertemu sang mantan, dan tak ada
rasa mencintainya lagi. Rasa itu tergantikan oleh ikatan-ikatan ukhuwah dan
kecintaan terhadap-Nya.
Terimakasih buat kamu, yang telah menyakitiku hingga aku
terjerumus kedalam nikmatnya menjalankan perintah-Nya...
Terimkasih pula buat kamu yang membuatku tersakiti dengan
mengharapkanmu, bahwa mengharapkan keridhaan-Nya jauh lebih bermakna dalam
hidup ini.
Belum ada Komentar untuk "[Cerpen] Kujemput Hidayahku"
Posting Komentar