Hoaks Kesehatan di Tengah Pandemi Meresahkan? Begini Cara Bijak Mengatasinya
Ilhamsadli.com,- Tentunya menjadi sebuah tantangan besar bagi kita semua di era digital saat ini, terlebih lagi dengan kemudahan mengakses informasi melalui media sosial. Dengan kondisi dimana hampir semua media sosial berisi berita duka, kemudian ditambah lagi dengan hoaks keshetanan yang meresahkan. Tidak tanggung-tanggung, hoaks yang diproduksi ini bisa membuat ketidak percayaan masyarakat pada kinerja pemerintah dan tenaga kesehatan.
Bukan hanya itu saja, dengan bermunculannya hoaks tentang kesehatan ini malah membuat para oknum makin liar beroperasi. Misalkan dengan hoaks mengenai kandungan dalam susu beruang yang membuatnya diburu di setiap tempat, bahkan ada video viral bagaimana produk ini diperebutkan. Bebera hoaks ini juga mengurangi rasa kemanusiaan kita semua, padahal seharusnya dalam kondisi sekarang ini rasa kemanusiaan seharusnya semakin naik bukan malah menghilang.
Jika ada informasi hoaks, seharusnya kita haruslah bijak dalam menggunakan media sosial ini. Karena salah-salah bukan malah memberikan informasi melainkan meresahkan hingga membunuh rasa kemanusiaan. Apalagi sekarang-sekarang ini muncul lagi hoaks tentang vaksinasi. Ketika awal vaksin akan diuji saja hoaks mengenai vaksin ini menyebar.
Pasti teman-teman pernah menemukan hoaks bahwa siswa dan guru meninggal setelah divaksin, dan semua orang mulai mempercayai hoaks tersebut. Padahal korban yang disebutkan tersebut meninggal bukan karena vaksin untuk covid 19, karena nyatanya ketika isu itu menyebar vaksin masih belum disahkan oleh BPOM. Kemudian hoaks mengenai kandungan vaksin dan banyak menganggap itu haram, padahal sedang dalam proses cek dan ricek dari MUI dan terbukti tidak haram.
Meski tidak bisa dipungkiri selalu saja ada oknum yang memanfaatkan keadaan, entahlah mereka sudah hilang rasa kemanusiaannya atau hanya memikirkan bisnis saja sampai lupa kemanusiaan. Saya yakin oknum-oknum ini yang paling tidak disukai oleh kita semua. Namun semua itu bisa kok dihentikan dengan cara tidak meneruskan informasi yang tidak valid.
Hindari hoaks dengan cermat menyaring informasi yang masuk adalah sebuah langkah konkrit. Dan perlu diingat bahwa ini bukan hanya tugas satu orang atau segelintir orang, melainkan tugas kita semua. Selain memang pemerintah bekerjasama dengan banyak stekholder untuk mengedukasi bahwa hoaks harus dilawan.
Beberapa waktu yang lalu, saya ikut menyimak webinar yang diselenggarakan oleh Kominfo dan bekerjasama dengan Universitas Pelita Harapan (UPH) dengan teman “No Hoax: Vaksin Aman, Hati Nyaman.” Seperti yang saya bilang di awal bahwa meresahkan jika terus menerus hoaks informasi kesehatan ini berulang-ulang. Kalau saya berani bilang bahwa webinar yang diselenggarakan tanggal 14 juli 2021 kemarin kian relate dengan keseharian kita sebagai warga +62.
Seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Widodo Muktiyo selaku Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa bahwa kita sedang di era post truth dan echo chamber. Artinya apa? Artinya dimana kebenaran, fakta yang dilengkapi dengan bukti tidak dianggap penting. Karena terpenting adalah narasi tersebut masuk akal dan bisa diterima oleh pemikiran masyarakat. Di sinilah maka sebuah kalimat menjadi bomerang bahwa “natijen maha benar.”
Dalam webinar tersebut disampaikan bahwa ada beberapa bentuk dan saluran hoaks ini, diantaranya adalah bentu narasi yang presentasenya lumayan tinggi hingga 62,10%, selanjutnya adalah foto dan video. Dalam konteks ini, patut diperhatikan pula bahwa saluran media sosial memegang kendali utama dalam saluran penyebaran berita hoaks, yakni sekitar 92,40%. Indeed, wajar sih sosmed saat ini menjadi konsumsi netijen kita setiap hari lantaran sifatnya yang mudah diakses.
Menyusul, aplikasi chatting, sekitar 62,80%, seperti aplikasi WhatsApp yang didalamnya terdapat fitur WAG, sehingga makin memudahkan masyarakat dalam menyebarkan berita hoaks. Ciri dari bertita hoakas adalah sebagai berikut:
- Sumber tidak jelas, biasanya dari sumber media yang tidak jelas dan tidak tersertifikasi oleh dewan pers.
- Terdapat ketidak wajaran pada berita, biasanya pada foto atau judul yang mengandung unsur klikbait.
- Bahasanya cenderung provokatif.
- Tidak sinkron antara judul dan isi konten.
- Tidak dicantumkan waktu kejadian
- Beritanya tidak berimbang dan cenderung menyudutkan satu golongan saja.
- Adanya ancaman di akhir bagi yang tidak menyebarkan berita tersebut.
Terkait vaksinasi ini memang banyak sekalin informasi simpang siur alias hoaksnya. Tetapi jika kita sadar betapa pentingnya vaksinasi ini tentu berita seperti apapun tidak akan berpengaruh. Was-was boleh tapi jangan parno, begitulah kira-kira.
Ibu dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid selaku juru bicara vaksinasi covid 19 Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa vaksinasi saat ini difokuskan pada daerah-daerah dengan kasus dan mobilitas yang tinggi, seperti wilayah pulau Jawa dan Bali. Mengingat, sepanjang masa pandemi ini, perilaku pencegahan covid 19 belum konsisten dan belum sepenuhnya menjadi bagian dari norma masyarakat.
Ditambah lagi, tingkat pengetahuan terkait gejala dan penularan covid 19 di Indonesia masih termasuk rendah (<15%) dan efikasi diri dalam menghadapi pandemi ini juga rendah (34%). Sumpah, kalau lihat data-data ini jadi pengen nangis deh!
Padahal, program vaksinasi ini sendiri tujuan utamanya ialah untuk membentuk herd immunity guna memberikan perlindungan bagi masyarakat agar terhindar dari paparan covid 19. Lantas, sangat disayangkan, jika program ini tidak serta merta didukung oleh masyarakat sepenuhnya untuk melakukan vaksinasi, lantaran lebih mempercayai hoaks ketimbang data ilmiah.
Pasalnya, dalam konteks ini dr. Siti Nadia telah menjamin bahwa vaksin ini aman dan halal, serta izin penggunaan darurat oleh BPOM serta MUI juga sudah diberikan. Otomatis, dari segi keamanan dan kualitas pun juga sudah teruji. So, sayang banget dong kalau enggak vaksin!
Nah, jadi memang diperlukan kesadaran publik serta edukasi secara terus menerus agar tidak ada lagi orang yang percaya hoaks. Apalagi percaya bahwa covid ini hanya konspirasi, jangan sampai. Karena tanpa keluar rumah saja masih ada yang berpotensi terpapar. Kenapa? Karena meskipun beli makanan online tetap saja siapa yang mengatar makanan tersebut dan seterusnya tetap saja berpotensi. Maka langkah konkrit adalah tetap taat protokol kesehatan dan cermat mengkonsumsi berita. Perbanyak olaharaga, konsumsi vitamin dan selalu berpositif thinking.
Bukan hanya itu saja, dengan bermunculannya hoaks tentang kesehatan ini malah membuat para oknum makin liar beroperasi. Misalkan dengan hoaks mengenai kandungan dalam susu beruang yang membuatnya diburu di setiap tempat, bahkan ada video viral bagaimana produk ini diperebutkan. Bebera hoaks ini juga mengurangi rasa kemanusiaan kita semua, padahal seharusnya dalam kondisi sekarang ini rasa kemanusiaan seharusnya semakin naik bukan malah menghilang.
Hoaks Kesehatan di Tengah Pandemi Meresahkan
Dengan fakta bahwa tingkat literasi kita masih rendah, tentunya menjadi sebuah potensi besar untuk digoyang oleh informasi hoaks. Semuanya melalui jalur media sosial, baik itu facebook, instagram, twitter hingga whatsapp group. Informasi yang tidak valid berkeliaran dimana-mana, bahkan saya sendiri kesusahan untuk menginformasikan mengenai informasi tersebut tidak valid dan cukup berhenti di situ.Jika ada informasi hoaks, seharusnya kita haruslah bijak dalam menggunakan media sosial ini. Karena salah-salah bukan malah memberikan informasi melainkan meresahkan hingga membunuh rasa kemanusiaan. Apalagi sekarang-sekarang ini muncul lagi hoaks tentang vaksinasi. Ketika awal vaksin akan diuji saja hoaks mengenai vaksin ini menyebar.
Pasti teman-teman pernah menemukan hoaks bahwa siswa dan guru meninggal setelah divaksin, dan semua orang mulai mempercayai hoaks tersebut. Padahal korban yang disebutkan tersebut meninggal bukan karena vaksin untuk covid 19, karena nyatanya ketika isu itu menyebar vaksin masih belum disahkan oleh BPOM. Kemudian hoaks mengenai kandungan vaksin dan banyak menganggap itu haram, padahal sedang dalam proses cek dan ricek dari MUI dan terbukti tidak haram.
Mari Stop Penyebaran Hoaks dan Berhenti di Kamu
Memiliki teman yang bekerja sebagai tenaga kesehatan atau relawan yang terjun langsung ke lapangan pasti akan membuatmu berpikir 100 kali untuk menyebarkan hoaks mengenai kesehatan di tengah pandemi ini. Tenaga kesehatan yang menjadi garis terdepan dalam penanganan ini pasti merasa kecewa dengan penyebaran hoaks tersebut. Karena usaha mereka di garda depan seakan dianggap untuk materi semata.Meski tidak bisa dipungkiri selalu saja ada oknum yang memanfaatkan keadaan, entahlah mereka sudah hilang rasa kemanusiaannya atau hanya memikirkan bisnis saja sampai lupa kemanusiaan. Saya yakin oknum-oknum ini yang paling tidak disukai oleh kita semua. Namun semua itu bisa kok dihentikan dengan cara tidak meneruskan informasi yang tidak valid.
Hindari hoaks dengan cermat menyaring informasi yang masuk adalah sebuah langkah konkrit. Dan perlu diingat bahwa ini bukan hanya tugas satu orang atau segelintir orang, melainkan tugas kita semua. Selain memang pemerintah bekerjasama dengan banyak stekholder untuk mengedukasi bahwa hoaks harus dilawan.
Beberapa waktu yang lalu, saya ikut menyimak webinar yang diselenggarakan oleh Kominfo dan bekerjasama dengan Universitas Pelita Harapan (UPH) dengan teman “No Hoax: Vaksin Aman, Hati Nyaman.” Seperti yang saya bilang di awal bahwa meresahkan jika terus menerus hoaks informasi kesehatan ini berulang-ulang. Kalau saya berani bilang bahwa webinar yang diselenggarakan tanggal 14 juli 2021 kemarin kian relate dengan keseharian kita sebagai warga +62.
Seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Widodo Muktiyo selaku Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa bahwa kita sedang di era post truth dan echo chamber. Artinya apa? Artinya dimana kebenaran, fakta yang dilengkapi dengan bukti tidak dianggap penting. Karena terpenting adalah narasi tersebut masuk akal dan bisa diterima oleh pemikiran masyarakat. Di sinilah maka sebuah kalimat menjadi bomerang bahwa “natijen maha benar.”
Bagaimana Mengenali Bentuk dan Saluran Hoaks?
Dalam webinar tersebut disampaikan bahwa ada beberapa bentuk dan saluran hoaks ini, diantaranya adalah bentu narasi yang presentasenya lumayan tinggi hingga 62,10%, selanjutnya adalah foto dan video. Dalam konteks ini, patut diperhatikan pula bahwa saluran media sosial memegang kendali utama dalam saluran penyebaran berita hoaks, yakni sekitar 92,40%. Indeed, wajar sih sosmed saat ini menjadi konsumsi netijen kita setiap hari lantaran sifatnya yang mudah diakses.
Menyusul, aplikasi chatting, sekitar 62,80%, seperti aplikasi WhatsApp yang didalamnya terdapat fitur WAG, sehingga makin memudahkan masyarakat dalam menyebarkan berita hoaks. Ciri dari bertita hoakas adalah sebagai berikut:
- Sumber tidak jelas, biasanya dari sumber media yang tidak jelas dan tidak tersertifikasi oleh dewan pers.
- Terdapat ketidak wajaran pada berita, biasanya pada foto atau judul yang mengandung unsur klikbait.
- Bahasanya cenderung provokatif.
- Tidak sinkron antara judul dan isi konten.
- Tidak dicantumkan waktu kejadian
- Beritanya tidak berimbang dan cenderung menyudutkan satu golongan saja.
- Adanya ancaman di akhir bagi yang tidak menyebarkan berita tersebut.
Lakukan Pencegahan Terbaik dengan Taat Prosedur Kesehatan dan Vaksinasi
Terkait vaksinasi ini memang banyak sekalin informasi simpang siur alias hoaksnya. Tetapi jika kita sadar betapa pentingnya vaksinasi ini tentu berita seperti apapun tidak akan berpengaruh. Was-was boleh tapi jangan parno, begitulah kira-kira.
Ibu dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid selaku juru bicara vaksinasi covid 19 Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa vaksinasi saat ini difokuskan pada daerah-daerah dengan kasus dan mobilitas yang tinggi, seperti wilayah pulau Jawa dan Bali. Mengingat, sepanjang masa pandemi ini, perilaku pencegahan covid 19 belum konsisten dan belum sepenuhnya menjadi bagian dari norma masyarakat.
Ditambah lagi, tingkat pengetahuan terkait gejala dan penularan covid 19 di Indonesia masih termasuk rendah (<15%) dan efikasi diri dalam menghadapi pandemi ini juga rendah (34%). Sumpah, kalau lihat data-data ini jadi pengen nangis deh!
Padahal, program vaksinasi ini sendiri tujuan utamanya ialah untuk membentuk herd immunity guna memberikan perlindungan bagi masyarakat agar terhindar dari paparan covid 19. Lantas, sangat disayangkan, jika program ini tidak serta merta didukung oleh masyarakat sepenuhnya untuk melakukan vaksinasi, lantaran lebih mempercayai hoaks ketimbang data ilmiah.
Pasalnya, dalam konteks ini dr. Siti Nadia telah menjamin bahwa vaksin ini aman dan halal, serta izin penggunaan darurat oleh BPOM serta MUI juga sudah diberikan. Otomatis, dari segi keamanan dan kualitas pun juga sudah teruji. So, sayang banget dong kalau enggak vaksin!
Nah, jadi memang diperlukan kesadaran publik serta edukasi secara terus menerus agar tidak ada lagi orang yang percaya hoaks. Apalagi percaya bahwa covid ini hanya konspirasi, jangan sampai. Karena tanpa keluar rumah saja masih ada yang berpotensi terpapar. Kenapa? Karena meskipun beli makanan online tetap saja siapa yang mengatar makanan tersebut dan seterusnya tetap saja berpotensi. Maka langkah konkrit adalah tetap taat protokol kesehatan dan cermat mengkonsumsi berita. Perbanyak olaharaga, konsumsi vitamin dan selalu berpositif thinking.
Belum ada Komentar untuk "Hoaks Kesehatan di Tengah Pandemi Meresahkan? Begini Cara Bijak Mengatasinya"
Posting Komentar